Senin, 21 Maret 2011

Melepas Keterikatan

Melepas Keterikatan untuk Mencapai Keikhlasan “Sepi ing pamrih rame ing gawe”, bekerja keras tanpa pamrih

oleh Handoko Al Faqir pada 06 Februari 2011 jam 18:48
 
Keterikatan membuat manusia takut menghadapi perubahan. Keterikatan membuat manusia ingin mempertahankan sesuatu yang pada dasarnya tidak abadi.

Keterikatan menimbulkan keinginan untuk memiliki dan mempertahankan sesuatu, keadaan maupun orang. Keinginan itu tidak selaras dengan alam. Alam tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan sesuatu. Alam membiarkan terjadinya perubahan, bahkan malah memfasilitasinya, mendukungnya.

Kita terikat dengan rambut lebat yang masih hitam, maka uban dan botak sudah pasti menyedihkan. Kita terikat dengan harta benda yang terkumpul selama hidup, maka kematian menjadi sulit. Sementara itu, alam tidak pernah sedih karena pergantian musim. Alam tidak pernah menolak perubahan yang terjadi setiap saat.


Kenapa kita terikat pada sesuatu? Karena kita melihat sesuatu itu di luar diri kita, dan timbul keinginan untuk memilikinya. Pernahkah kita merasa terikat dengan ginjal, hati, dan jeroan kita? Kita tidak terikat, karena kita tahu semua itu ada dalam diri kita. Kita bahkan tidak pernah memikirkan mereka. Tidak pernah peduli tentang jantung dan paru, hingga pada suatu ketika kita jatuh sakit…. dan baru mengaduh-aduh. Karena saat itu kita “merasa kehilangan” kesehatan. Kita tidak pernah merasa terikat dengan sesuatu yang kita yakini sebagai milik kita. Sebab itu seorang suami bisa tidak terikat dengan istrinya, tetapi terikat dengan selirnya.

Kita tidak mencela harta-benda. Yang dicela adalah keterikatan kita. Silakan cari uang; silakan menjadi kaya dan menikmati kekayaan Anda, asal tidak terikat, karena keterikatan akan menyebabkan kekecewaan. Keterikatan merampas kebebasan Anda. Keterikatan memperbudak Anda. Tidak terikat berarti tidak habis-habisan, tidak mati-matian mengejar sesuatu.

Keterikatan pada harta-kekayaan, pada kedudukan, pada keluarga semuanya harus dikikis sedikit demi sedikit. Tidak berarti kita menjadi asosial; tidak berarti kita meninggalkan keluarga. Tidak demikian. Yang penting adalah meninggalkan rasa kepemilikan. Yang penting ialah meninggalkan keterikatan. Dan untuk melepaskan keterikatan-keterikatan semacam itu, cara yang paling gampang adalah mengingat kematian. Menyadari bahwasannya hidup ini bersifat fana, sementara, sesaat.

Manusia perlu menarik diri sebelum sesuatu menjadi keterikatan.

Menarik diri, adalah dengan cara Menutup Panca indera, dari pemicu-pemicu di luar yang dapat menghilangkan kesadaran diri. Ketertarikan adalah awal keterikatan. Jika salah satu dari panca indera kita tertarik pada sesuatu, terciptalah rantai keterikatan yang pada suatu ketika pasti menjerat kita. Saat ketertarikan itu baru terjadi kita harus langsung menarik diri, Menutup Panca indera.

Melepaskan diri dari keterikatan tidak mudah bagi mereka yang belum mendapatkan ketenangan jiwa. Sebaliknya ia yang telah mencapai ketenangan dan keseimbangan lewat meditasi/Tawajuh menghadap Tuhan dengan mudah dapat melepaskan dirinya dan mencapai Kesadaran Tertinggi. Ia yang telah mencapai ketenangan dan keseimbangan jiwa menyadari adanya persatuan antara “aku” yang bersemayam dalam dirinya dan “AKU” yang bersemayam dalam diri setiap makhluk. Demikian, walaupun ia berkarya, ia tetap juga tidak terikat pada apa pun. Ia yang bijak menyadari bahwa yang terlibat dengan benda duniawi hanyalah panca inderanya. Dan Sebenarnya “Ia” tidak terlibat.

Bagaikan daun bunga teratai yang berada di atas air dan tidak dibasahi oleh air, begitu pula ia yang bekerja tanpa keterikatan dan menganggapnya sebagai persembahan, hidup tanpa noda dan tidak tercemari oleh dunia ini. Ia yang bijak melepaskan segala macam keterikatan dan bekerja dengan raga, pikiran, intelek serta Panca inderanya, hanya untuk membersihkan dirinya. Ia yang bijak tidak mengharapkan sesuatu dari pekerjaannya, demikian ia memperoleh ketenangan jiwa. Sebaliknya ia yang tidak bijak selalu mengharapkan hasil akhir dari apa yang ia lakukan, sehingga tetap saja terikat.

“Sepi ing pamrih rame ing gawe”, bekerja keras tanpa pamrih


Pamrih adalah tujuan, atau keterikatan dalam melakukan suatu tindakan.

Para leluhur memberi nasehat agar kita bekerja keras tanpa keterikatan terhadap hasil atau keterikatan pada tujuan atau mempunyai pamrih tertentu.
Selama masih menggunakan pikiran anda tidak bisa bekerja tanpa pamrih. Selama masih belum kenal kasih, anda tidak bisa melepaskan ego. Dan selama pikiran masih bekerja, selama ego masih belum terlepaskan, anda tidak bisa melihat ke dalam diri.

Apa yang dimaksud dengan ketakterikatan? Dan, apa pula keterikatan itu? Keterikatan adalah ketergantungan dan kepercayaan kita pada pujian, pada imbalan, pada penghargaan dan pengakuan. Selama kita masih mengejar semuanya itu, kita masih terikat. Dan, selama kita masih terikat, kita masih takut. Lapisan Inteligensia kita memperoleh energi dari dua sumber utama, sumber dalam diri: dari rasa percaya diri yang tidak tergantung pada pujian dan makian orang dan sumber di luar diri: dari pujian dan pengakuan.

Ketika pujian berubah menjadi hujatan, dan pengakuan menjadi penolakan, lapisan inteligensia kita kehausan energi. Saat itu menjadi ganas. Kita akan melakukan apa saja untuk memperoleh pujian dan pengakuan. Selama masih mengejar, kita masih terikat.

Janganlah tergantung pada sumber energi di luar diri. Gunakan energi yang berasal dari dalam dirimu sendiri. Ketidaktergantungan pada sesuatu di luar diri inilah yang disebut ke-tidak-terikatan.

Para suci memberi nasehat agar kita tidak terikat pada sesuatu.

Janganlah Terikat pada Sesuatu. Silahkan bersahabat, tapi tanpa keterikatan. Berkaryalah, tapi janganlah terikat pada hasilnya. Layanilah keluarga dan cintailah mereka, tapi tanpa keterikatan. Keterikatan bukan cinta. Keterikatan menciptakan keinginan untuk memiliki. Kemudian untuk memiliki sesuatu atau seseorang, kita akan melakukan apa saja, dengan membenarkan pemaksaan atau kekerasan.

Dalam ilmu manajemen, dikenal pemahaman Management by Objective, seluruh upaya dilakukan agar hasil tercapai. Bagi mereka yang kurang ber-etika mereka menggunakan segala macam cara untuk memperoleh apa yang ia harapkan. Dalam spiritual, mereka berupaya sekuat tenaga untuk mencapai surga, nirvana atau apa pun tujuannya. Manajemen yang terikat kepada tujuan, manajemen berdasar pamrih.

Kemudian dalam ilmu manajemen dikenal pula Management by Process, apabila seluruh proses dilakukan dengan benar, hasil akhir adalah suatu kepastian. Seluruh upaya difokuskan pada tindakan saat ini, misalkan dengan pembuatan cheklist dari semua proses, sehingga apabila semua proses tersebut dijalani dengan benar maka hasil akhir sudah merupakan kepastian. Hasilnya adalah Total Quality Management, holistik. Dalam spiritual, mereka berfokus pada perjalanan dan bukan pada tujuan, tidak mempunyai pamrih.

Para leluhur kita mempunyai pitutur luhur, nasehat yang mulia agar kita melakukan “Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe”. Agar semua energi kita terfokus pada pekerjaan dan tidak terfokus pada hasil sehingga energi untuk bekerja kurang maksimal. Pendekatan para leluhur lebih mendekati “Management by Process”. Dalam hal spiritual, dapat dimaknai agar kita tidak terikat pada tujuan keduniawian atau tujuan atau pamrih apa pun. Dasarnya adalah bekerja sebagai persembahan pada kehidupan semata.

Bagi yang mempercayai hukum sebab-akibat, maka “Apa yang dilakukan akan berbalik kepada pelakunya”, “Apa yang kau tabur, itu pula yang akan kau tuai.” Apa yang kita kirim kepada alam semesta akan kembali kepada kita.
Tindakan buruk akan kembali kepada kita dan kita akan menerima akibatnya. Sebaliknya tindakan baik akan memperoleh akibatnya.

Belajar dari daun dan bunga teratai yang tidak menerima kebaikan atau keburukan, leluhur kita menganjurkan kita untuk bertindak sepenuh hati tanpa pamrih. Hal tersebut akan melepaskan kita dari ikatan duniawi.

5 komentar: