Al-Ittihad Abu Yazid al-Bustami
a. Al-Fana’ dan Al-Baqa’
Keadaanfana’- baqa’ danittihad sebagaimana yang dialami oleh Abu Yazid dalam pengalaman tasawwufnya, merupakan tiga aspek dalam suatu pengalaman sufi yang tejadi setelah tercapainya makamma’rifat. Dan hal ini tidak banyak sufi yang mencapai tataran demikian, bahkan kalaupun ada maka tidak akan pernah lepas dari dijumpainya pro- kontradari kalangan umat Islam sendiri, terutama dari kalangan mutakallimun, karena perjalanan para sufi pada maqam yang setelah mencapai tingkatanma’rifat hampir selalu dinyatakan sebagai
bertentangan dengan ajaran islam, meskipun upaya demikian dilakukan
dalam rangka mendekatkan diri sedekat mungkin pada Sang Pencipta.
Dalam perspektif sufi hal ini sangat penting, karena salah satu inti tasawuf adalah perasaan hilangnya seluruh sifat kemanusiaan yang kmudian diganti dengan sifat-sifat ketuhanan. Kondisi ini tercapai dengan sebuah keyakinan bahwa seluruh sifat kemakhlukan manusia merupakan baying semu yang tidak tetap, sedangkan sifat-sifat tuhan adalah permanen, yang diproses melalui penghilangan kepribadian dan perasaan terhadap semua yang ada disekitarnya terlebih dahulu. Dengan hilangnya semua perasaan dan kehendak pada sesuatu itu, akan hilang pula berbagai keinginan untuk memiliki benda duniawi.
Seorang sufi yang hendak bersatu dengan tuhan;ittihad terlebih dahulu harus melalui dengan dua keadaan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu keadaanfana’, yakni, kesirnaan-peleburan; penghancuran perasaan atau kesadaran seseorang tentang dirinya dan makhluk lain disekitarnya, danbaqa’, tetap, kekal, yakni tetap dalam kebajikan dan kekal dalam sifat ketuhanan.31
Fana’-baqa’ merupakan pengetahuan atau pengalaman yang tidak
bisa diperoleh melalui pemikiran, tetapi diberikan oleh Tuhan melalaui penerangan yang merupakan rahasia tuhan. Dikatakan demikian karena perjalanan ini diidentikan dengan hancurnya sifat jiwa, atau sirnanya sifat- sifat tercela, maka barang siapa fana’ dari sifat tercela, maka pada dirinya akan muncul sifat-sifat terpuji.32
Fana’ dan baqa’ merupkn sesuatu yang kembar, karena ia terjadi
dldm waktu yang bersamaan, sehingga jika terjadifana’, dimana pada waktu kesadaran dengan diri dan alam sekelilingnya telah hilang maka bersamaan dengan itu ia mengalamibaqa’, yaitu munculnya kesadaran akan kehadirannya disisi Tuhan.
Abu Yazid mendapatkan pengalaman ini setelah melalui perjalanan
yang sangat berat yaitu ketika beliau melakukan ibadah haji;
Aku pergi ke Makkah dan melihat sebuah rumah berdiri tersendiri, aku berkata; hajiku tidak diterima karena aku melihat banyak batu semacam ini, aku pergi lagi dan melihat rumah itu dan juga Tuhan rumah itu. Aku berkata, ini masih bukan pengesahan yang hakiki. Aku pergi untuk ketiga kalinya dan aku hanya melihat Tuhan rumah itu, kemudian suara dalam batinku berbisik; wahai bayazid, jika engkau tidak melihat dirimu sendiri engkau tidak akan menjadi seorang musyrik walau emgkau melihat seluruh jagad raya. Karena engkau masih melihat dirimu sendiri, engkau adalah seorang yang musyrik walaupun engkau buta terhadap seluruh jagad raya. Maka aku bertobat lagi, dan tobatku kali ini adalah tobat dari memandang wujudku sendiri.33
Fana’ di kalangan sufi merupakan kejadian yang temporal, tidak berlangsung secara terus menerus, seandainya kejadian ini berlangsung secara terus-menerus niscaya akan merusak ibadah lain yang justru merupakan hal yang dapat mengantar keadaannya kepada tingkatan demikian, maka dapat dikatakan bahwa hal ini akan bertentangan dengan ajaran syar’i yang merupakan pantangan pula bagi pelaku sufi.
Abu Yazid dikenal sebagai seorang sufi yang sangat memperhatikan syariat dan ajaran agama, meskipun beliau hampir selalu dalam keadaan “mabuk”hingga saat shalat tiba, ketika waktu shalat telah tiba, beliau kembali kepada kesadaran, seusai melaksanakan shalatnya, apabila di kehendaki ia kembali kepadafana’.34
Dengan demikian seorang sufi tidak meninggalkan syariat agama, bahkan ketaatan menjalankan seluruh ajaran akan senantiasa di upayakan semaksimal mungkin dalam rangka memenuhi standar untuk menjaga kesucian jiwanya dari sifat-sifat tercela yang akan mengganggu kebersihan jiwanya.
b. Al-Ittihad
Keadaan ini merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana seorang sufi merasakan dirinya telah bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan kata “hai aku”.
Ittihad tidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menenpuh tingkatanfana’- baqa’ yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya sebagai individu yang terpisah dari Tuhannya, dilanjutkan dengan memperjuangkan tersingkapnya pembatas yang menghalangi pandangan mata hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang dilakukan secara terus manarus.
Setelah Abu Yazid mengalamike-fana’an, dengan sirnanya segala sesuatu yang selain Allah dari pandangannya, saat itu dia tidak lagi menyaksikan selain hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya telah terlebur dalam Dia yang disaksikannya. Dalam keadaan yang seperti ini terjadi penyatuan dengan Yang Maha Benar. Kondisi seperti itu telah menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan. Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil, sebagaimana yang pernah diungkapkan Abu Yazid; pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan ia berkata “Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau”, aku menjawab “kekasihku aku tidak ingin melihat mereka, tetapi jika itu kehendak-Mu, hiaslah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata ‘telah kami lihat engkau’, tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak ada disana”.35
Ketika terjadi ittihad secara utuh, Abu Yazid mengatakan dalam
syatahatnya : “Tuhan berkata ; semua mereka kecuali engakau adalah
makhluk-Ku”, akupun berkata, “Aku adalah Engkau, Engaku adalah aku adalah Engkau”, maka pemilahanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Dia berkata, “Hai engkau”, aku dengan perantara-Nya menjawab, “Hai aku”. Dia berkata, “Engkau yang satu”. Aku menjawab, “Akulah yang satu”. Dia selanjutnya berkata, “Engkau adalah engaku”. Aku menjawab, “Aku adalah aku”. Kata aku yang diucapkan Abu Yazid bukanlah sebagai gambaran diri Abu Yazid tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena saat itu Abu Yazid telah bersatu dengan Tuhan, dengan kata lain, dalamittihad Abu Yazid berbicara dengan nama Tuhan atau lebih tepat lagi, Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid.36
Dalam peristiwa lain, Abu Yazid dikunjungi seseorang, kemudian ia bertanya : “Siapa yang engkau cari ?”, jawabnya, jawabnya, “Abu Yazid”, Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”.
Dengan ucapan-ucapan yang telah dikemukakan, Abu Yazid terlihat telah bersatu dengan Tuhan. Sehingga dia tidak sadar akan diri dan lingkungannya karena yang ada saat itu hanya Allah semata. Sebenarnya Abu Yazid tetap mengakui adanya wujud, Tuhan dan Makhluk, hanya saja dia merasakan kebersatuan antara keduanya, sedangkan masing-masing masih tetap dalam esensinya, Tuhan tetap Tuhan, makhluk tetap makhluk. Ketika terjadinyaittihad, yang dimaksud bersatu adalah dalam arti ruhani, bukan hakekat jazad.38
Ittihad terjadi dengan perantara fana’-baqa’ sebagaimana telah
dikemukakan, digambarkan sebagai jiwa yang kehilangan semua hasrat, perhatian dan menjadikan diri sebagai obyek Tuhan, dengan cinta di dalam batin, pikiran sifat-sifat kebaikan yang menimbulkan kekaguman dalam dirinya. Sebagaimana diceritakan bahwa Abu Yazid pernah mengatakan.
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau Raya Yang Maha Kuasa”. Dia juga menyatakan, “Manusia bertaubat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku taubat dari ucapanku “Tidak ada Tuhan selain Allah”, karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf, sedangkan Tuhan tidak dapat dijangkau dengan alat dan huruf”.39
Semakin larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalat shubuh, Abu Yazid pernah melafalkan kalimat sampai orang lain menganggapnya orang gila dan menjauhinya dengan kalimat, “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku, maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku”.
Ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh Abu Yazid diatas tidak dapat dilihat secara harfiah, tetapi harus dipandang sebagai ungkapan seorang sufi yang sedang dalam keadaanfana’, seluruh pikiran, kehendak dan tindakannya telahbaqa’ dalam Tuhan. Pada dasarnya semua wujud, selain wujud Tuhan adalahfana’, atau segala sesuatu selain Tuhan, dipandang dari keberadaan dirinya, sudah tidak adafana’. Dengan demikian satu-satunya wujud yang ada hanyalah wujud Tuhan.
Dalam pengalaman tasawuf, keadaanfana’ para sufi berbeda antara satu dengan yang lain. Ada yang kembali kepada keadaan normal sehingga dia tetap menganggap dualitas antara Tuhan dan alam, tetapi ada pula yang betul-betul merasakanfana’ yang kemudian mengantarkan bersatu dengan Tuhan, sehingga tidak ada perbedaan antara Tuhan, dengan alam, atau sebaliknya.
Meskipun Abu Yazid di pandang sebagai tokoh terpandang dalam bidangnya, ternyata juga mendapat kritik, sebagai contoh adalah al-Thusi, yang memaparkan bahwait tihad sebagaimana yang di lakukan oleh Abu Yazid, yang diawali oleh keadaanfana’, patut diwaspadai bahaya-bahaya yang akan di timbulkannya, karena menurutnya, sifat-sifat kemanusiaan tidak mungkin sirna dari manusia. Oleh karena itu persangkaan bahwa
manusia bisafana’, sehingga ia bersifat sebagaimana sifat ketuhanan, adalah keliru. Akibat ketidak tahuannya, pendapat itu hanya akan mengantar mereka kepada hulul atau pendapat orang nasrani tentang isa al-Masih.41
Namun juga tidak kurang dari tokoh sufi lain yang memberikan dukungan, sebagaimana di sampaikan oleh Al-Junaidi, yang menyatakan dapat memahami ungkapan yang di keluarkan Abu Yazid. Bahkan Abd al- Qadir al-Jailani memberikan komentar, “Terhadap apa yang di ucapkan para sufi, tidak bisa dijatuhkan hukum, kecuali apa yang di ungkapkannya dalam keadaan sadar”42 karena persoalannya tidak lebih dari psikis yang sedang dialami oleh masing-masing pelaku sufi yang sedang melangsungkan tawajjuh dengan Allah sehingga keadaan alam dan seisinya benar-benar tertutup dari jangkauan akal mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar